Partai Politik, Matikan Demokrasi

penulis : Dicky Demoz  anggota DPRD Bekasi

Bila mencermati konstelasi politik di Indonesia beberapa tahun terakhir ini partai politik jelas-jelas mematikan proses demokratisasi yang sedang kita dibangun. Berbagai perilaku politik elit partai telah mematikan proses demokratisasi seperti perilaku money politics, penyuapan, korupsi, dan bentuk penyimpangan lainnya. Dapat disaksikan para koruptor mulai dari pusat hingga daerah didominasi oleh kader partai. Dan hingga saat ini belum satupun partai yang dihukum oleh lembaga seperti pembubaran dan dilarang ikut pemilu berikutnya. Malah diberikan ‘perlindungan’ oleh aparat hukum.

Kesimpulan di atas tentu sesuai dengan acuan realita politik yang kita lihat selama ini. Mata melihat dan raga merasakan. Meski realita di atas jika dibenturkan dengan elit partai politik tadi pasti mereka membantahnya dengan argumentasi yang mereka buat untuk mengaburkan makna penyelewengannya. Namun, realita berbangsa dan bernegara para elit partai yang kita saksikan membantah apologi yang meraka bangun. Tujuannya satu, agar mereka tetap berada dikekuasaannya. Para elit politik memiliki keinginan atau kecendrungan mengubah konsep Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) menjadi Vox populi, Vox Argentum (suara rakyat, suara gemerincing uang). Dan perilaku ini menjamur di beberapa partai baik partai lama maupun baru.
Realitas seperti itulah terkadang tanpa kita sadari bahwa partai politiklah yang telah menghancurkan pembangunan tata sistem proses demokratisasi. Para politisi dari parpol seolah cuci tangan dari hancurnya sendi bernegara kita dengan menyalahkan pihak lain. Memang, kehancuran tata sosial-politik di negeri ini tak selamanya dilakukan parpol tapi seridaknya hampir 99,9 kerusakan moral politik dilakukan parpol. Di mana fungsi partai politik seperti memberikan pendidikan politik di tengah masyarakat tidak berjalan lagi bahkan hasilnya nol besar. Atau bisa dikatakan, seringnya masyarakat tawuran antargolongan juga disebabkan partai politik.
Sebagai contoh, anggota DPR RI Periode 2004-2007 melakukan keributan pada saat sidang yang nota bene dari parpol. Pada saat ‘tawuran’ politik tersebut terjadi disiarkan dan disaksikan oleh jutaan mata warga Indonesia yang belum mampu menerima sikap perbedaan melalui layar kaca. Seperti diketahui, televisilah media yang paling cepat mempengaruhi sikap/perilaku pemirsa. Apa para anggota dewan di Senayan menyadari kelakukaannya itu berdampak buruk bagi rakyatnya? Dan dengan adanya perbedaan di lembaga legislatif serta di tengah masyarakat menjadikan kehidupan berdemokrasi semakin kokoh. Sebab, dalam sistem negara modern, perbedaan pandangan sebagai syarat mutlak/utama tegaknya demokrasi dalam sebuah negara. Tapi kenapa kita mengagungkan demokrasi sedangkan kita sendiri tak merealisasikan konsep demokrasi di tiap perilaku politik kita? Sepantasnya para anggota dewan memberikan suriteladan bagaimana hidup dalam keberagaman. Tidak melakukan amoral, kejahatan, apalagi pidana.
Pilkada DKI Jakarta
Tulisan M Fadjroel Rachman (Kompas, 18/06/2007) menarik kita cermati. “Jika Anda kader partai politik yang loyal dan merangkak dari bawah? Juga bukan menjamin (menjadi calon gubernur-wakil gubernur) karena partai politik memilih calon dengan tiga kriteria: uang, uang dan uang.” Dalam tulisannya, Fadjroel melukiskan bawah partai politik di DKI Jakarta mayoritas memilih cagub Fauzi Bowo yang menjawab sebagai pegawai negeri sipil yang berharta Rp 38.347.226.587 dan 150.000 dolar AS per 31 Mei 2007. Dan Partai politik lebih memilih uang daripada mengajukan kadernya sendiri sebagai pemimpin di DKI Jakarta.
Menariknya dari pengajuan calon gubernur DKI Jakarta didominasi atau ditentukan oleh elit politik tanpa mengedepankan nurani politik rakyat (baca: kader). Seperti kasus pencalonan, unsur kader partai atau tokoh masyarakat yang diinginkan publik menghilang di pusaran parpol. Bahkan dengan adanya interpensi pengurus di tingkat pusat, kader yang dulunya disebut-sebut kapabel sebagai pengganti Sutiyoso menghilang dengan sendirinya dalam bursa pencalonan. Kita tak tahu perihal menghilangnya nama kader partai itu sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Yang jelas, berkumpul mencalonkan satu calon gubernur (menurut berita) untuk mengalahkan lawan ideologinya. Padahal, soal ideologi negara sudah berakhir, yaitu pancasila. Atau itu adalah akal-akalan atau politik busuk para parpol meraup uang lebih banyak menjelang pemilu 2009.
Selanjutnya, uang mahar untuk beberapa peserta partai politik di koalisi Jakarta itu sebagai bukti bahwa parpol mengedepankan uang bukan visi-misi calon yang diusung. Soal diterima atau tidak sebagai bakal calon untuk diusung dalam pilkada itu soal belakang, yang terpenting adalah para kandidat menyetor dana. Itu kita ketahui setelah Mayor Jenderal (Purnawirawan) Djasri Marin mengaku mengeluarkan Rp 3 miliar selama mengikuti penjaringan calon wakil gubernur di parpol untuk mendampingi Fauzi Bowo. Selain nama itu Slamet Kirbiantoro telah menyetor Rp 1,5 miliar kepada salah satu parpol dan nama-nama calon yang pernah beredar.
Mengapa partai politik minder mencalonkan kadernya sendiri? Apakah kader yang ada tak mempunyai kemampuan memimpin? Ataukah mahar yang disiapkan tak sebesar calon dari luar? Yang mengetahui itu adalah para elit parpol yang menolak kader sendiri sebagai gubernur. Kalau pertanyaan di atas dijawab benar semua. Berarti para parpol di Indonesia sudah busuk bahkan telah mematikan proses demokratisasi yang kita bangun selama ini. Karena fungsi lembaga politik seperti parpol untuk memberikan pendidikan politik, rekrutmen politik, artikulasi politik, partisipasi politik dan kaderisasi politik.
Artinya, parpol ini telah mematikan fungsi parpol dalam sebuah negara demokrasi. Yang harus dilakukan, parpol yang mempunyai hak maju seharusnya pede (percaya diri) mendoronh kadernya untuk menjalankan ideologi partainya di tengah masyarakat. Bukan bersatu untuk mendapatkan kekuasaan dan mengindahkan ideologi atau platfrom partai. Bahkan koalisi Jakarta yang dimotori Golkar, PDIP, PPP, Demokrat dan partai lainnya seolah tak lagi memegang prisip kepartaian. Sebagai contoh, fungsi kader parpol bersinerji dengan rakyat dengan selalu menyuarakan misi rakyat di dalam sistem pemerintahan. Jika kader terdepak dengan sistem ‘politik dagang sapi’ itu tentu mencederai asas keadilan dan demokrasi. Dan, jika parpol tak juga menggusung kadernya karena alasan uang, bisa dipastikan parpol telah memasung potensi kader serta mematikan sendiri fungsi partai politik untuk menciptakan pemimpin nasional.
Selain dari itu, partai politik juga telah terlibat membentuk budaya politik yang kurang sehat. Di mana pada saat pengajuan sebagai bakal calon parpol tanpa malu meminta mahar—yang katanya untuk biaya sosialisasi—dan bisa dipidanakan sesuai Undang-undang Nomor 31 Tahun Tentang partai politik. Para bakal calon (belum tentu lolos) menyeter uang untuk membiayai kegiatan partai. Mahar politik yang diajukan ke partai tersebut sangatlah besar. Seorang calon gubernur DKI Jakarta mengakui dimintai Rp 400 miliar oleh satu partai. Itu baru satu partai, bagaimana dengan partai yang lainnya? Dengan kondisi ini menutup peluang kader partai atau tokoh masyarakat yang tak memiliki untuk maju dalam pilkada.
Sekedar diketahui, sbelum kedua nama Adang Daradjatung diusung partai Keadilan Sejahtera dan Fauzi Bowo yang dikawal 20 partai banyak beredar nama calon gubernur dan wakil gubernur. Mulai dari artis tekenal berasal Betawi Rano Karno, Agum Gumelar, Faisal Basri, Jeffry Geofanni, Sarwono Kusumaatmadja, Djasri Martin, hingga Slamet Kirbiantoro. Semua nama itu teriliminasi tanpa ada alasan yang transparan. Bahkan yang paling menyakitkan dunia demokrasi, Prijanto yang tak pernah disebut-sebut mengikuti kompotisi memangkan pertarungan untuk mendampingi Fauzi Bowo. Meski dari mereka mengatakan, itu biasa dalam dunia politik. Tapi, yang tak habis pikir, Prijanto yang tak pernah ikut kompotisi sepakbola politik malah memenangkan pertandinga. Dan peristiwa politik inilah yang menyakitkan para calon yang pernah maju bersaing mendampingi Fauzi Bowo. “Saya ikhlas uang saya habis jika kalah dalam pertarungan. Tapi ini kan tidak. Malah partai dukung orang lain yang bukan dari kompotitor,” ungkap Djasri Marin, seperti diwartakan Indopos.
Anehnya lagi, parpol yang mengatasnamakan dirinya partai reformasi ‘mempermainkan’ para kandidat atas nama demokrasi dengan mengalihkan dukungan tanpa alasan yang jelas. Sebagai contoh, Sarwono-Jeffry yang sudah pasti mendapatkan kendaraan politik dari PAN-PKB tapi juga tak diperjuangkan hingga titik darah terakhir bahkan dukungannya dialihkan. Publik tak habis pikir. Meski PAN-PKB punya argumentasi dan logika politik seperti kata maaf, dukungannya tak mencukupi. Sekedar diketahui, kegagalan Sarwono-Jeffry menyimpang misteri di tengah masyarakat. Seperti dengan misteri uang mahar di atas tadi. Aneh para perilaku elit parpol kita yang sudah menghilangkan urat malu politiknya.
Mari Sadarkan Elit Parpol!
Potret kelam perilaku jahat para kaum parpol tak sampai di situ tapi terus merasuk sukma kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Potret kelam tersebut hanya dari proses politik pilkada DKI Jakarta. Kalau kita ingin telusuri semuanya, tentu banyak ketidakberesan berbangsa dan bernegara yang keluar dari relnya yang dilakukan parpol. Penyimpangan-penyimpangan politik yang terus dipertontonkan kader parpol dengan kepongahannya, dan tanpa ada yang mampu menghentikannya. Kejahatan itu terus menghantui dan meracuni partisipasi politik masyarakat yang melahirkan: apatis. Jika ini dibiarkan maka tak tertutup kemungkinan gelombang masyarakat memberontak menuntut haknya seperti runtuhnya rejim Soeharto Mei 1998 bisa terulang kembali. Imbasnya penjarahan serta korban dari masyarakat sipil akan berjatuhan kembali banyak. Karena itu, melalui tulisan ini sangat mendukung langkah kaum intelektual politik yang ingin memperbaiki situasi tersebut dengan berbagai cara.
Langkah kaum intelektual itu untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat yang sedang dilupakakan oleh parpol Agar para masyarakat sadar dan kaum elit parpol menyadari bahwa kekuasaan itu adalah amanah yang dititipkan rakyat untuk diperjuangkan. Selain itu, ada tujuan mulia yaitu menyadarkan elit parpol bahwa “Rakyat itu diam. Rakyat itu sabar. Rakyat itu pandai membaca peluang. Dan rakyat itu cerdas. Jangan sekali-kali menggap rakyat itu tidak berbahaya karena sifat diam dan sabarnya. Rakyat itu memang sabar tapi tidak bisa disakiti terus-menerus, dibohongi terus-menerus, ditekan terus-menerus,” pesan Jacob Sumardjo.

Habibi Mahabbah, Pengurus Besar Ikatan Kekeluargaa Mahasiswa Sulsel Indonesia (PB IKAMI Sulsel) Bidang Kajian dan Stategi Politik

13 responses to “Partai Politik, Matikan Demokrasi

  1. … wah rupanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari kota Bekasi …. Fraksi apa nih? …

  2. mohon maaf abang Arises saya bukan anggota DPRD Kota Bekasi tetapi salah karyawan di Sekretariat DPRD Kota Bekasi, semoga maklum atas realis ini….. tetapi saya aktifis AMPI wakil Ketua II bidang kaderisasi, keanggotaan dan Pemenangan Pemilu , KNPI wakil Ketua IV bidang Hukum dan HAM, Ketua Bidang Keanggotaan FKPPI PD IX DKI Jaya tarima kasih Bagimu PMB pun Bagi Noesa dan bangsaku…..woyouw…….woyuow

    Salam perhimpunan
    Dicky demoz 90

  3. Maaf atas kekeliruannya, wahhh terima kasih atas informasi dan keterbukaannya. Smoga gelar anggota dewan akan terwujud di masa akan datang.

  4. DPR/DPRD kurang mewakili rakyat
    “DPR/DPRD kurang mewakili rakyat”lebih ekstrim lagi “DPR/DPRD bukan wakil rakyat” begitu komentar yang sering dilontarkan sebagian kalangan, terutama rakyat kecil(akar rumput)/yang merasa suaranya tidak pernah didengarkan, memang di negeri yang dianbang de integrasi tidak mudah bagi orang kebanyakan untuk bertemu dengan wakil-wakil yang mereka pilih sendiri melalui pemilu, anggota legislatif yang dipilih untuk mewakili kepentingan rakyat cenderung hanya menjalin hubungan sebatas menjelang pemilu, setelah terpilih hubungan putus……..kaya iklan ajeeeee.
    Waktu reses dimanfaatkan anggota dewan untuk kembali ke konstituen, beberapa anggota memilih menggelar pertemuan di hotel, ada juga yang dirumah makan dan lapangan terbuka, akan tetapi ada juga yang langsung mendatangi warga.
    Di Nigeria misalnya UNDP membantu parlemen nasional untuk memperkuat peran representasi dengan mengadakan serangkaian kampanye dengar pendapat publik untuk membahas isu-isu penting.
    Di luar kegiatan seperti dengar pendapat publik dan sejenisnya masih banyak sarana yang dapat dimanfaatkan anggota legislatif untuk berkomunikasi dengn pemilih, yang menjadi pertanyyyyyaaaan sekarang maukah ? para anggota yang katanya terhormat melakukan investasi politik yang lebih besar lagi dengan lebih sering bertemu dengan para pemilihnya ?
    sebagai mana dalam agama islam “jika kita dikasih amanat oleh orang lain dalam hal ini rakyat maka harus mengemban amanat dengan sebaik-baiknya” ya ayuhaladina amanu ku ampusakum wa ahlikum naro” Innama buiistu liutamimal makarimul akhlak” semoga ahklak para wakil erakyat kita tidak diperbudak oleh nafsu angkara murka, berapa waakil rakyat yang tercela X berapa kabupaten/Kota se Indonesia, Kali Berapoa Provinsi se indonesia, kali DPR RI,DPD kalau beli kerupuk berapa kaleeeng, mending buat membangun bangsa ini dengan sebaik-baiknya……hidup demozzzzzzz
    salam
    Dicky “meong AMPI:Demoz PMB 90

  5. pokoknya payah daaaah jika ada anggota dewan berasal dari pareeeman ? tukang deb Kolektor gitulah, cuma dateng kalo waktu kunjungan kerja, waktu rapat dengan para eksekutif(Pemda) coba byangkan berapa pulus yang mereka raup (anggota dewan yang cuma duit doooang) X berapa kabupaten/Kota se Edonesia, X berapa Provinsi se Endonesia, X DPR RI, X DPD wah mending buat stafnya
    malu dech oooom aries jika saya disebut anggota dewan jikatidak bisa menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya mah mending disebut staf / karyawan Sekretariat DPRD, malu ama rakyat terutama alloh SWT, takut diajab, keur mah nagara aya dina jalan des integrasi pada mokaha, arek mardeka sendiri tetapi PAD dari mana buat maraban rakyat

  6. Bukankah sebelum menjadi anggota dewan kebanyakan mereka adalah idealis, tetapi setelah menjadi anggota dewan, dengan penghasilan lebih dari 50 juta sebulan, mereka udah lupa dengan idealisnya.

  7. anda betul bung, kerena ada juga yang berasal dari pareman tukang deb colektor, yang hanya dateng sewaktu ada kunjungan kerja yang bisa keluar pulus, bukan 50 juta tetapi sangat minim banyak potongan baik dari fraksi, partai dan konstituennya jadinya begitu cuba bayangkan jika 10 orang anggota dewan nyang nyeleneh di kali berapa kabupaten/kota se indonesia, kali berapa provinsi se endonesia, kali DPR RI, Kali DPD berapa coba ? kalo dibeliin minyak tanah buat rakyat berapa jarigen ? beli krupuk berapa kaleeeng hayooooooh ? jadinya cari sikutan, kerna banyaknya potongan tsb ? ada juga nyang idealisnya tidak mau mengambil honor, tetapi ketika uang dikembalikan ke kas nagara, mereka dengan suatu alasan meminjam ? dengan batas penggantian waktu tertentu ? ketika ditagih dalam waktu tertentu pula ? mereka menjawab ? khan hak saya ? idealiskah mereka ! bulsit agama dijual belikan waktu kampanye OOOOmdooo, kata rakyat mah mending jaman Soeharto, mending jaman Golongan Karya, kerena saya Wakil Ketua IV AMPI Bidang Kaderisasi, keanggotaan dan pemenangan Pemilu.

  8. oke, berapa sih potongan sukarela itu ?
    tohh mereka tetap menerima duit bersih layaknya seorang direktur. Anggap saja mereka terima bersih 20-30jt dengan duit segitu mereka sudah menjadi OKB (orang kaya bego), bandingkan dengan UMR yang hanya 700ribu berapa kali lipat penghasilan mereka dengan standar gaji orang paling rendah ? mereka tidak perlu ribut-ribut kelaparan, beras mahal, antri minyak, ongkos transport mahal, biaya sekolah tinggi, bbm mahal, tidak sanggup beli rumah. Karena tunjangan dan fasilitas dari negara membuat mereka bukan lagi bagian dari rakyat kecil, yang merasakan penderitaan rakyat kecil, mereka bukanlah wakil rakyat, tetapi wakil dari keserakahan perut dan dibawah perut mereka yang tidak pernah terpuaskan. System dan budaya yang berlaku di negara ini sudah sedemikian bobroknya sehingga siapa pun yang terlibat ikut menjadi bobrok

  9. Kang dicky apakah kenal dengan Hasanuddin ketua AMPI / FKPPI pusat. Saya juga punya teman namanya Wamrum di AMPI pusat. kenalkah ?

  10. kalau ketemu orangnya pasti kenal, saya khan di PD Kota Bekasi IX, kalau potongan DPR RI <DPD dengan DPRD Kabupaten/ Kota Khan beda kalau DPRD Kota/Kabupaten paling 10 Jt di potong fraksi, partai dan pinjaman, kalau ketua AMPI pusat saya kenal bilang dari Dicky meong Kota Bekasi, bagai mana nyooor keadaan PMB ? salam untuk semuanya, aku baru tau ada email padahal dulu cari-cari eh baru sakarang katamu ! alhamdulillah
    salam perjoeangan
    Bagimu PMB pun bagi noesa dan bangsaku

  11. Kalau saya karena dasarnya anak organisasi, anak-anak pergerakan mahasiswa seperti Permahi (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia), Ismahi (Ikatan Mahasiswa Hukum Indonesia)yang nota bene bergerak untuk demontras jadiyach ingat rakyat karena berasal dari rakyat dan untuk rakyat, persoalan duit pasti datang, biasa lah orang-orang DPR ribut alasan rakyat karena ada yang nota bene yang berasal dari jalanan seperti tukang Debt Colektor, embos koran, wartawan wah payah pokoknya nagara ini !

  12. ==>> Untuk Dicky “meong” <<====
    Saya sekarang tinggal di Yogyakarta sedangkan Aris tinggal di Jakarta, jadi kita tidak tahu keadaan PMB di bandung sekarang. Semua berita PMb didapat dari Rizal PMB 92, Sidik PMB 90, Sugih PMB 80 semua via SMS dan email ke saya dan ke Aris , terus disebarkan via email dan web merdeka7… Gitu…salam

  13. kang bambang di yogyakartana di palih mana soalna saya sering ke Yogya kunjungan kerja, biasa buat nambah pengalaman
    Bagimu PMB pun bagi nusa dan bangsaku

Tinggalkan Balasan ke arismunawar Batalkan balasan