Monthly Archives: Mei 2007

TAMPILNYA KAUM NASIONALIS UNTUK MENYELAMATKAN BANGSA

Catatan A. Umar Said

Sambutan presiden SBY di depan Kongres Persatuan dan Kesatuan Akumni GMNI pada tanggal 24 Maret 2006 patut mendapat perhatian dari banyak orang, karena berisi hal-hal menarik untuk sama-sama kita renungkan dan kita jabarkan dari berbagai segi yang berkaitan dengan situasi bangsa dan negara di masa-masa yang lalu, masa kini dan masa depan.

Menurut Kompas (25 Maret 2006) dalam pidatonya itu ia mengucapkan kalimat-kalimat sebagai berikut :.”Hari ini kita membangun tonggak sejarah baru. Alhamdulillah kaum nasionalis sudah mulai tampil kembali untuk menyelamatkan bangsa kita. Mari dengan Pancasila dan rasa kebangsaan yang tinggi kita bangun negara kita menuju masa depan yang lebih baik. Selamat berjuang. Merdeka!”

“Selain menanggapi sejumlah isu aktual nasional, Presiden dalam sambutannya juga menekankan empat konsensus dasar yang dibangun para pendiri bangsa, yang menurut Yudhoyono tidak boleh tercabut sampai kapan pun. Empat konsensus dasar itu adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

“Indonesia akan rontok kalau empat konsensus dasar ini tercabut. Saya kira kaum nasionalis tidak boleh dan tidak akan membiarkan negaranya rontok. Karena itu, konsensus dasar tersebut harus dipertahankan. Itu adalah amanah para pendiri bangsa,” ujarnya disambut tepuk tangan.

“Terkait dengan globalisasi yang tak terhindarkan, yang menantang tiga kemandirian bangsa seperti dikemukakan Bung Karno dalam Trisakti: di bidang politik, ekonomi, dan budaya, Presiden mengatakan, dengan jati diri dan semangat kebangsaan, Indonesia berupaya mengatasi semua tantangan itu demi kemandirian dan kemajuan bangsa. (kutipan selesai)

Apakah gerangan maksud ucapan presiden SBY ?

Terhadap apa yang dikatakan presiden SBY seperti di atas ini mungkin ada macam-macam pendapat atau reaksi orang-orang, baik yang tidak percaya akan ketulusannya, atau menyangsikan kesungguhannya ( atau yang meragukan kejujurannya ) maupun yang memuji keberaniannya atau yang menganggap bahwa presiden SBY telah mengucapkan hal-hal yang cukup positif dan menarik. Mungkin juga ada orang yang bertanya-tanya apakah gerangan maksud sesungguhnya presiden SBY dengan mengatakan itu semuanya? Apa tidak ada tujuan tertentu sebagai latar-belakangnya ?

Mengingat bahwa presiden SBY adalah mantan jenderal Angkatan Darat, dan sejak mudanya aktif sebagai militernya rejim Suharto, adalah wajar bahwa ada orang-orang yang mempunyai pertanyaan-pertanyaan semacam itu, atau yang meragukan ketulusannya ketika ia mengucapkan hal-hal yang sudah lama tidak terdengar di kalangan pendukung Orde Baru, dan terutama sekali di kalangan Angkatan Darat.

Sebab kalimatnya yang berbunyi : “Hari ini kita membangun tonggak sejarah baru. Alhamdulillah kaum nasionalis sudah mulai tampil kembali untuk menyelamatkan bangsa kita” merupakan

ungkapan yang penting dan bisa mengandung arti yang jauh. Tetapi, kita masih patut bertanya-tanya : apakah yang dimaksudkan “membangun tonggak sejarah yang baru” itu berarti kita meningggalkan era Orde Baru dan memulai sejarah baru? Kalau betul-betul itu yang dimaksudkan maka ini merupakan ungkapan yang positif.

Juga ucapannya dengan kalimat :” .Alhamdulillah kaum nasionalis sudah mulai tampil kembali untuk menyelamatkan bangsa kita” bisa mempuyai arti yang penting sekali. Sebab, bisa saja ini diartikan bahwa presiden SBY merasa senang dengan tampîlnya kembali kaum nasionalis, dan yang lebih penting lagi “untuk menyelamatkan bangsa”. Sepintas lalu, ucapannya yang demikian ini memang pantas dianggap positif juga. Marilah sama-sama kita coba teliti lebih jauh arti ucapannya itu dari berbagai segi.

Bung Karno adalah simbul nasionalisme Indonesia

Kita bisa bertanya-tanya siapa sajakah yang dimaksudkan dengan sebutan nasionalis itu? Apakah mereka yang terdiri dari para alumni GMNI dan simpatisan-simpatisannya saja, atau apakah orang-orang yang juga menjadi anggota dan simpatisan PDIP, atau orang-orang yang tergabung dalam berbagai partai yang menyatakan mendukung gagasan-gagasan besar dan politik Bung Karno?

Kalimatnya yang berbunyi : “:.Alhamdulillah kaum nasionalis sudah mulai tampil kembali untuk menyelamatkan bangsa kita” juga bisa diartikan bahwa ia mengakui bahwa selama ini (artinya, selama Orde Baru) kaum nasionalis tidak muncul dan tidak dibolehkan punya peran penting dalam banyak hal. Nah, sekarang ia senang bahwa “kaum nasionalis sudah tampil kembali untuk menyelamatkan bangsa.” Sungguh, ini merupakan ungkapan yang tidak tanggung-tanggung dari seorang mantan jenderal Angkatan Darat, kalau kita renungkan hal-hal sebagai berikut :

Dalam sejarah bangsa Indonesia kontemporer, nasionalisme mengandung pengertian revolusioner atau kiri, karena bercorak anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Dan dengan pengertian ini bisalah kiranya dikatakan bahwa Bung Karno adalah contoh tipikal dari seorang nasionalis revolusioner dan kiri Di Indonesia, orang-orang yang dengan jujur atau serius bicara tentang nasionalisme (atau kaum nasionalis) maka dengan sendirinya akan ingat kepada peran dan ketokohan Bung Karno sebagai nasionalis yang besar.

Nasionalisme kita temukan dengan gamblang dan jernih pada diri, ketokohan, perjuangan, pandangan dan ajaran-ajaran Bung Karno. Pikiran-pikiran besar, gagasan-gagasan monumental, dan ajaran-ajaran Bung Karno yang tercermin dalam “Indonesia Menggugat”, atau dalam “Lahirnya Panca Sila”, atau dalam banyak pidato-pidatonya yang terkumpul dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi”, dan “Nawaksara” adalah personifikasi atau pengejawantahan nasionalismenya Bung Karno. Bisa ditamsilkan bahwa Bung Karno adalah simbul atau perwakilan nasionalisme Indonesia.

Sebab, Bung Karno adalah nasionalis terbesar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang imperialisme, kolonialisme, dan mengantar bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku ini menuju ke kemerdekaan. Di antara banyak tokoh-tokoh besar atau pemimpin dalam sejarah bangsa Indonesia jelaslah kiranya bagi banyak orang bahwa Bung Karno adalah merupakan tokoh nasionalis revolusioner yang banyak sekali memberikan sumbangan dan pengorbanan bagi kepentingan rakyat Indonesia.

Sayangnya, justru tokoh nasionalis yang besar inilah yang telah dikhianati oleh Suharto dan konco-konconya di Angkatan Darat (waktu itu), dan bersekongkol dengan kekuatan-keuatan nekolim, terutama dengan imperialisme AS.

Rejim militer Suharto mengubur nasionalisme Indonesia

Mereka yang membenci Bung Karno ( karena berbagai sebab, umpamanya : kurang tahu sejarahnya dan perjuangannya, atau terpengaruh oleh propaganda rejim militer Orde Baru) maka tidak akan pernah mengerti atau tidak bisa menjiwai nasionalisme secara sungguh-sungguh.

Boleh dikatakan bahwa selama puluhan tahun Orde Baru, nasionalisme telah dikubur, atau setidak-tidaknya disingkirkan oleh rejim militer Suharto, karena rejim ini tidak menyukai kaum nasionalis yang personifikasinya adalah sosok Bung Karno. Rejim militer Suharto yang memusuhi nasionalis besar Bung Karno, dengan sendirinya bukanlah suatu rejim yang bisa dikategorikan menghargai nasionalisme, apalagi menjunjungnya tinggi-tinggi.

Oleh karena menentang berbagai fikiran, pandangan, sikap, dan politik Bung Karno, sebagai nasionalis revolusioner, maka di bawah pimpinan Suharto Angkatan Darat negeri kita telah memushi nasionalisme juga. Disebabkan oleh kebencian mereka kepada gagasan besar Bung Karno tentang NASAKOM, maka Suharto dan konco-konconya di Angkatan Darat juga menaruh kebencian terhadap siapa saja yang menampakkan diri sebagai nasionalis pendukung NASAKOM.

Oleh sebab itulah, kiranya kita tidak bisa dan tidak patut menggolongkan orang-orang sejenis Suharto (dan kawan-kawan terdekatnya) sebagai orang-orang nasionalis, karena sejak terjadinya G30S mereka telah bersikap menentang atau memusuhi kaum nasionalis yang mendukung politik Bung Karno. Dengan apa yang terjadi di akhir tahun 1965, Supersemar, dan Orde Baru, kiranya bagi banyak orang sudah jelas bahwa orang-orang sejenis Suharto tidak bisa dipandang sebagai nasionalis, bukan pula demokrat, bukan juga patriot, dan juga bukan humanis.

Suharto , dan pendukung-pendukung setianya ( yang terdiri dari tokoh-tokoh Angkatan Darat, Golkar, dan kalangan reaksioner lainnya), yang sudah mengkhianati Bung Karno dan membantai serta memenjarakan jutaan orang tidak bersalah, jelas bukanlah orang-orang yang pantas disebut sebagai pencinta demokrasi dan pengemban Pancasila yang sesungguhnya.

Selama puluhan tahun Orde Baru, Suharto dkk banyak bicara tentang Pancasila. Tetapi, dalam prakteknya Pancasila telah diinjak-injak, dipalsu, atau dilecehkan. Perlakuan terhadap para korban peristiwa 65 yang jutaaan orang dan selama puluhan tahun adalah bukti yang kongkrit bahwa mereka tidak memahami sama sekali arti Pancasila. Dengan mengkhianati Bung Karno, satu-satunya tokoh bangsa yang justru melahirkan Pancasila, orang-orang Orde Baru tidak berhak mengatakan dirinya sebagai Pancasilais.

TRISAKTI-nya Bung Karno dan TNI-AD

Yang juga termasuk hal yang menarik dari sambutan presiden SBY ialah ketika ia berbicara tentang tiga kemandirian bangsa seperti yang dikemukakan Bung Karno dalam Trisakti : di bidang politik, ekonomi, dan budaya. “Dengan jati diri dan semangat kebangsaan, Indonesia berupaya mengatasi semua tantangan demi kemandirian dan kemajuan bangsa, “ kata presiden SBY.

Sudah puluhan tahun selama rejim militer Suharto dkk tidak pernah terdengar (kalau ada pun jarang sekali!) ajaran atau gagasan Bung Karno, seperti Trisakti, dikutip oleh tokoh-tokoh utama Orde Baru, apalagi tokoh-tokoh militer. Karena, justru oleh karena ajaran atau gagasan-gagasannyalah maka Bung Karno dikhianati, digulingkan, kemudian ditapolkan (oleh Angkatan Darat) sampai wafatnya dalam tahanan.

Hal lain yang juga menarik adalah ketika presiden SBY juga menekankan empat konsensus dasar yang dibangun para pendiri bangsa, yang tidak boleh tercabut sampai kapan pun. Empat konsensus dasar itu adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Indonesia akan rontok kalau empat konsensus dasar ini tercabut. Saya kira kaum nasionalis tidak boleh dan tidak akan membiarkan negaranya rontok. Karena itu, konsensus dasar tersebut harus dipertahankan. Itu adalah amanah para pendiri bangsa,” ujarnya.

Membaca hal-hal tersebut di atas maka orang bisa saja bertanya-tanya apakah itu semua pertanda bahwa sudah ada “perubahan” di kalangan militer, khususnya Angkatan Darat? Belum tentu !!! Sebab, Angkatan Darat khususnya, dan golongan militer pada umumnya, sudah terlalu lama (sekitar 40 tahunan) dirusak oleh Suharto dkk, dengan menjadikannya sebagai bagian bangsa yang merupakan tulang punggung rejim militer yang otoriter atau despotik, Mereka, yang jumlahnya sekitar 500.000 orang itu telah menjadi golongan yang berklas “istimewa” dalam kehidupan bangsa selama puluhan tahun, dan telah mengangkangi bangsa Indonesia yang jumlahnya 200 juta orang.

Jadi, ketika presiden SBY mengucapkan hal-hal yang begitu positif terhadap kaum nasionalis dan bahkan juga mengutip sebagian ajaran -ajaran Bung Karno, apakah berarti bahwa ia “meninggalkan” garis atau doktrin militer Orde Baru? Tidak jelas, atau tidak pasti. Mungkin-mungkin saja. Sebab, meskipun ia mantan jenderal TNI-AD ia menjadi presiden RI bukan sebagai wakil militer. Ia dipilih secara langsung oleh sebagian rakyat Indonesia (lebih dari 60% suara). Dan lagi pula, tentunya, ia pun menyadari bahwa TNI-AD (juga Suharto) sudah lama sangat buruk citranya di mata banyak orang.

Hingga kini, masih belum jelas benar apakah sosok SBY bisa betul-betul meninggalkan keterikatannya – secara ideologi, politik maupun mental atau moral – dengan rejim militer Orde Baru yang sudah dikutuk oleh banyak orang, dan sejauh apa ia memisahkan diri dari segala yang buruk yang telah dilakukan oleh Suharto dkk.

Namun, ucapannya di depan kongres alumni GMNI telah memercikkan harapan bahwa ia sebagai presiden terpilih merupakan tokoh mantan jenderal TNI-AD yang mungkin mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan fundamental di kalangan militer, dan kalangan-kalangan reaksioner lainnya (termasuk sebagian kalangan Islam) yang selama puluhan tahun memusuhi Bung Karno, beserta para pendukungnya yang setia, yaitu golongan nasionalis dan komunis.

Apakah harapan ini akan hanya merupakan ilusi atau mimpi di siang hari bolong saja, atau betul-betul bisa terlaksana dan menjadi kenyataan, kita semua akan menyaksikannya di kemudian hari. Sebab, pepatah Jawa “Becik ketitik, olo ketoro” (apa yang baik akan ketahuan, dan apa yang jelek akan kelihatan) tetap masih ada kebenarannya dalam banyak hal.

Paris, 30 Maret 2006

.

SUPERSEMAR DAN PENGKHIANATAN SUHARTO DAN TNI AD

Catatan A. Umar Said

Dalam kesempatan untuk mengenang kembali Supersemar, yang selama 32 tahun Orde Baru telah dipamerkan oleh pendukung-pendukung rejim militer Orde Baru sebagai peristiwa besejarah untuk “menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia”, berbagai orang telah mengemukakan pendapat dan perasaan mereka.

Di antara mereka itu terdapat tokoh-tokoh korban peristiwa 65 dan eks-tapol seperti Ibrahim Isa (dari Nederland), Gutav Dupe (dari Jakarta) , Utomo S (pimpinan LPR-KROB). Sejarawan Asvi Warman Adam membuat tulisan yang amat menarik sekali yang berjudul « Supersemar dan kudeta merangkak MPRS », yang mengurai berbagai persoalan dan mengajukan bahan-bahan baru untuk renungan kita bersama. Harian Kompas dan Sinar Harapan juga menyiarkan tulisan-tulisan yang menarik mengenai masalah ini.

SUPERSEMAR MENCELAKAKAN BANGSA DAN NEGARA

Dari tulisan-tulisan yang baru-baru ini dapat dibaca, jelaslah kiranya bahwa Suharto dkk (artinya : Angkatan Darat dengan dukungan berbagai golongan reaksioner dalamnegeri dan luarnegeri) telah menjadikan Surat Perintah Sebelas Maret sebagai puncak pembangkangan, pemboikotan dan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno.

Pembangkangan, pemboikotan dan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno ini didahului dengan pembunuhan besar-besaran terhadap 3 juta anggota dan simpatisan PKI, dan penahanan sewenang-wenang terhadap sekitar 2 juta orang tidak bersalah apa-apa, serta penyebaran terror di seluruh negeri. Ini semua dilakukan oleh golongan militer (terutama Angkatan Darat), tanpa persetujuan presiden Sukarno.

Sesudah peristiwa Supersemar (11 Maret 1966) pembangkangan dan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno ini dilanjutkan dengan langkah-langkah Suharto dkk lainnya, dengan « membersihkan » MPRS dan DPR-GR dari golongan pro-PKI dan pro-Bung Karno, sehingga MPRS bisa sepenuhnya dikuasai dan dimanipulasi oleh Suharto dkk. MPRS yang sudah dikebiri atau dibikin loyo oleh Angkatan Darat inilah yang kemudian bisa didesak untuk mencabut kedudukan Bung Karno sebagai presiden/panglima tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi/mendataris MPRS.

Seperti sudah sama-sama kita saksikan sendiri, dengan diangkatnya Suharto sebagai presiden dalam tahun 1968 oleh MPRS, maka negara dan bangsa Indonesia telah dijerumuskan oleh Angkatan Darat yang dipimpin Suharto dalam masa gelap selama puluhan tahun yang penuh dengan pelanggaran HAM, kebejatan moral, kerusakan perikemunusiaan, kehancuran kehidupan demokratis, dan hancurnya persatuan bangsa. Dari segi ini dapatlah kiranya kita katakan dengan tegas bahwa Supersemar telah mencelakakan bangsa dan negara.

ANGKATAN DARAT MENGKHIANATI BUNG KARNO DAN REVOLUSI

Berbagai tulisan yang sudah disiarkan di Indonesia dan di luarnegeri menunjukkan dengan jelas tentang pengkhianatan golongan Angkatan Darat yang dipimpin Suharto ini terhadap presiden Sukarno, terutama sekali dengan menyalahgunakan Supersemar. Kejahatan Angkatan Darat ini tidak saja karena pembantaian besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI dan simpatisan Bung Karno, melainkan karena telah meneruskan berbagai kejahatan dan pelanggaran HAM selama lebih dari 30 tahun.

Kalau dihitung jumlah orang yang jadi korban pembunuhan, dan yang ditahan sewenang-wenang, dan orang-orang dari berbagai kalangan yang menjadi korban peristiwa 65, ditambah dengan kejahatan-kejahatan lainnya selama Orde Baru, maka tidak salahlah kalau ada orang-orang yang mengatakan bahwa Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto merupakan golongan bangsa yang telah mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi rakyatnya sendiri.

Sejarah dan praktek-praktek Orde Baru menunjukkan dengan jelas bagi banyak orang bahwa dengan menyalahgunakan Supersemar, Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto bukan saja telah mengkhianati Bung Karno, tetapi juga merusak cita-cita revolusi rakyat Indonesia. Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto bukan saja telah menghancurkan PKI dan kekuatan kiri lainnya, tetapi juga merusak secara serius dan besar-besaran banyak tatanan demokratis dari kehidupan politik.

Singkatnya, di bawah pimpinan Suharto, Angkatan Darat telah merusak Republik Indonesia, yang akibat parahnya masih kita saksikan sampai sekarang di berbagai bidang kehidupan bangsa. Kerusakan yang disebabkan berbagai kejahatan ini sudah demikian banyaknya dan juga demikian besarnya sehingga sulit untuk diperbaiki dalam jangka dekat dan waktu singkat. Banyak dari masalah-masalah parah dan rumit yang kita saksikan dewasa ini adalah warisan atau akibat dari rejim militer Orde Baru, yang dibangun oleh Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto.

TNI TELAH DIRUSAK OLEH SUHARTO

Peran busuk dan khianat yang sudah dimainkan oleh Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto yang menyalahgunakan Supersemar untuk menggulingkan presiden Sukarno dan kemudian mendirikan Orde Baru telah berakhir (secara resminya !!!) dengan jatuhnya Orde Baru. Tadinya, banyak orang mengira atau berharap bahwa TNI bisa mengubah dirinya, dan tidak berjiwa dan bertindak lagi seperti selama rejim militer Orde Baru, setelah Suharto tidak lagi menjadi presiden dan panglima tertinggi.

Tetapi, kerusakan di kalangan militer (terutama Angkatan Darat) yang disebabkan pimpinan Suharto sudah sedemikian parahnya dan pembusukan sudah sedemikian jauhnya, sehingga hanya sedikit sekali (kalau ada!) perubahan dalam sikap mental atau moral mereka. Selama 32 tahun Suharto telah memanjakan golongan militer, dan menjadikan mereka sebagai “kelas istimewa” dalam kehidupan bangsa, yang berada di atas segala golongan lainnya dalam masyarakat.

Perlakuan istimewa Suharto terhadap golongan militer ini adalah untuk “membeli” kepatuhan atau kesetiaan mereka kepadanya. Oleh karena itu, walaupun terjadi banyak kesalahan atau pelanggaran yang dibuat oleh kalangan militer selama Orde Baru , Suharto tidak (atau jarang sekali !) bertindak. Asal mereka patuh kepadanya. Itu sebabnya, maka banyak pelanggaran HAM atau penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi, yang banyak dilakukan oleh pimpinan militer dari berbagai tingkatan dibiarkan saja dan tidak ditindak.

Sekarang, ketika resminya Orde Baru sudah gulung tikar, dan Suharto sudah dipaksa turun, maka adanya pimpinan militer seperti yang dipertontonkan panglima Kodam Jaya,Mayjen TNI Agustadi Sasongko Purnomo, adalah pertanda bahwa pada pokoknya TNI-AD masih belum mengadakan perubahan seperti yang dituntut oleh gerakan reformasi.

Menurut Detikcom 7 Maret yang lalu, “ia meminta masyarakat waspada bangkitnya kembali gerakan komunisme. Hal itu bisa dilihat dari kegiatan mereka yang belakangan ini makin nyata. Kegiatan seperti pameran budaya di TIM yang digelar korban stigma Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 22 Februari lalu dan bedah buku sejarah BTI dan PKI karangan Pramoedya Ananta Toer, dinilainya sebagai bentuk konsolidasi partai berlambang palu dan arit itu.

“Konsolidasi PKI itu dalam rangka menyusun kekuatan dan memulihkan nama baik sebagai persiapan menghadapi Pemilu 2009. Targetnya, PKI bisa masuk dalam percaturan politik Indonesia. Karena itu, imbuhnya, semua pihak harus waspada dengan kemungkinan bangkitnya komunisme yang makin intensif melakukan kegiatan, baik terbuka maupun tertutup.

“Selain pameran budaya dan bedah buku, indikasi bangkitnya PKI bisa dilihat dari banyaknya aksi demo yang dilakukan para buruh tani dan sejumlah aktivis mahasiswa dari kelompok kiri yang intinya minta pencabutan Tap MPR 25/1966 tentang Pembubaran PKI, menghidupkan kembali organisasi komunis dan membubarkan koter. Kodam Jaya dalam hal ini intelijen tetap melakukan pemantauan terhadap aktivitas kelompok-kelompok yang dianggap garis kiri. » (kutipan selesai).

Gaya dan isi pidato Mayjen Agustadi itu mengingatkan kita kepada berbagai pernyataan dan pidato yang sering diucapkan tokoh-tokoh militer selama 32 tahun Orde Baru. Dengan terus-menerus menyebarkan racun anti-komunisme dan menjadikan PKI sebagai momok, rejim militer telah melakukan terror untuk memberantas perlawanan dan membungkam oposisi terhadap berbagai politik dan praktek mereka yang merugikan rakyat dan demokrasi.

PERINGATAN BUNG KARNO KEPADA SUHARTO

Pidato Mayjen Agustadi seperti tersebut di atas menunjukkan juga bahwa TNI-AD yang sekarang masih banyak dipengaruhi garis politik, jiwa atau semangat TNI di bawah pimpinan Suharto, yang melakukan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno, panglima tertinggi ABRI pada waktu itu.

Dalam kaitan ini, adalah menarik untuk menyimak kembali amanat presiden Sukarno dalam upacara pelantikan Mayor Jenderal Suharto (pada waktu itu) menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara pada tanggal 16 Oktober 1965 (jadi, 15 hari sesudah peristwa G30S).

Dokumen yang berisi amanat presiden Sukarno ini tidak banyak dipublikasikan dan bahkan sengaja “disembunyikan” oleh rejim militer Orde Baru. Teks lengkapnya, yang cukup panjang, dapat dibaca dalam buku “Revolusi Belum Selesai”, yang berisi kumpulan pidato-pidato presiden Sukarno sesudah peristiwa G30S. Berikut di bawah ini adalah sedikit cuplikan dari amanat yang panjang itu.

“Mayor Jenderal Soeharto,

Saya angkat Saudara menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat. Saudara bersedia mengucapkan sumpah atau janji?

Sumpah. (Jawab Mayjen Soeharto-red)

Menurut ajaran agama?

Islam. (Jawab Mayjen Soeharto-red)

Ikuti perkataan-perkataan saya.

(Sumpah diucapkan-red .)

(Sumpah selesai diucapkan –red.)

Syukur alhamdulillah, sumpah Menteri telah Saudara ucapkan.

(Kemudian presiden Sukarno bicara panjang lebar tentang revolusi Indonesia, tentang G3OS, tentang peran nekolim yang mau mengganggu jalannya revolusi rakyat Indonesia. Teks lengkapnya dapat dibaca pada halaman 21 sampai 26 buku tersebut. Dalam amanatnya itu presiden Sukarno memberi pesan kepada Mayor Jenderal Suharto sebagai berikut: )

“Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

“Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesa. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.

“Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!.” (kutipan selesai)

Jadi, peristiwa ini menunjukkan bahwa Mayor Jendral Suharto sudah mengucapkan sumpah di hadapan presiden Sukarno, yang berarti bahwa sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Darat ia seharusnya patuh kepada presiden Sukarno yang juga panglima tertinggi Angkatan Bersenjata, dan bahwa Suharto seharusnya menjalankan Panca Azimat revolusi, dan menjunjung tinggi Manipol-USDEK yang menjadi haluan negara.

Kita semua tahu bahwa justru sumpah inilah yang telah dilanggar secara khianat oleh Suharto, dan kemudian melanjutkan pengkhianatannya dengan menyalahgunakan Supersemar selama 32 tahun dalam melaksanakan politik busuk Orde Baru. Kita sekarang juga mengetahui bahwa perintah presiden Sukarno telah dikentuti saja oleh Suharto. Yaitu perintah presiden Sukarno kepada Suharto yang berbunyi “ buatlah Angkatan Darat ini satu angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK”.

Suharto, dengan mendapat dukungan penuh dari Angkatan Darat, Golkar, dan berbagai kalangan reaksioner dalamnegeri (dan kekuatan nekolim luarnegeri !!!), telah membuat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi sasaran kebencian rakyat. Suharto juga membikin Orde Baru mencampakkan Panca Azimat Revolusi, melecehkan Trisakti, membuang Nasakom, mengingkari prinsip Berdikari, dan memusuhi Manipol-USDEK.

BANYAK YANG HARUS DIROBAH DAN DIBETULKAN

Mengingat banyaknya berbagai kejahatan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh golongan militer (terutama Angkatan Darat) di bawah pimpinan Suharto selama Orde Baru, maka sewajarnyalah (bahkan seharusnya !!!) bahwa teks dalam buku-buku sejarah yang dipakai untuk pelajaran di sekolah dasar, lanjutan dan perguruan tinggi yang bersangkutan dengan Suharto, Supersemar, Orde Baru dan juga Angkatan Darat perlu dirobah atau dibetulkan, menurut kebenaran sejarah.

Demikian juga segala teks dalam dokumen-dokumen negara yang masih secara tidak benar tetap memuji-muji Supersemar, dan menyanjung-nyanjung Suharto dan Orde Baru harus dibetulkan menurut kenyataan yang sudah terjadi. Begitu juga halnya dengan segala monumen atau museum atau tugu peringatan yang secara tidak benar menyajikan Suharto sebagai pemimpin Angkatan Darat yang berjasa untuk negara dan bangsa. Sebab, kenyataannya, Suharto dengan Angkatan Darat yang dipimpinnya, telah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang parah terhadap negara dan juga menimbulkan berbagai penderitaan bagi rakyat.

Mengingat itu semua, maka perlulah kiranya kita semua sadar dan yakin bahwa, untuk selanjutnya di kemudian hari, Angkatan bersenjata Republik Indonesia harus sepenuhnya menjadi alat negara di bawah supremasi sipil, seperti kebanyakan negara demokratis lainnya di seluruh dunia. Seluruh kekuatan demokratis di Indonesia harus mencegah atau melawan bersama-sama kembalinya Dwifungsi ABRI dalam bentuknya yang bagaimanapun juga.

Kita semua (termasuk golongan-golongan yang demokratis dalam kalangan militer sendiri) harus mencegah terulangnya masa gelap Orde Baru, ketika golongan militer yang jumlahnya tidak melebihi 500.000 orang telah mengangkangi negara – secara otoriter atau despotik – dan ratusan juta rakyat (yang sekarang berjumlah lebih dari 230 juta orang), selama lebih dari 32 tahun! Pengalaman pahit bangsa ini tidak boleh berulang lagi, dalam bentuknya yang bagaimana pun juga!

Paris, 14 Maret 2006

Bisul Sosial Yang Mengerikan

REPUBLIK ini terlalu banyak masalah dan, celakanya, terlalu sedikit jalan keluar. Bahkan, nyaris tanpa solusi yang tuntas dan efektif.

Padahal yang dipelihara itu masalah yang dapat membakar kemarahan sosial yang tinggal soal waktu saja meletus dan meledak ke permukaan. Pengangguran meningkat, kemiskinan bertambah, dan semakin banyak yang menjerit dan menangis.

Reformasi tidak saja mati dini, tetapi sesungguhnya banyak rakyat di lapis bawah merasakan kehidupan sekarang jauh lebih buruk dan lebih sulit sehingga memberi penilaian lebih jelek daripada zaman Orde Baru. Demokrasi yang menghasilkan pemerintahan yang baru tidak memberikan perubahan di tingkat rakyat sehingga hidup sehari-hari menjadi lebih sejahtera.

Itu masalah yang menyangkut peri kehidupan rakyat. Bagaimana dengan yang menyangkut kehidupan pemerintahan seperti pemberantasan korupsi?

Pemberantasan korupsi hanya akan melahirkan dendam. Karena pemberantasan korupsi hanya mencari-cari kesalahan masa lalu, seakan dalam pemerintahan yang sekarang semuanya bersih. Kutu di seberang lautan tampak, tapi gajah di depan mata tak kelihatan. Terus-menerus mencari-cari kesalahan masa lalu hanya akan membuat ketika yang memerintah sekarang tidak lagi berkuasa, di situlah dendam dituntaskan.

Masalah besar lainnya adalah masalah tanah yang juga jelas menyimpan potensi kemarahan sosial yang hebat. Protes rakyat di Meruya Selatan, Jakarta Barat, menyangkut hak tanah seluas 43,9 ha cuma secuil puncak gunung bisul raksasa yang mengerikan yang juga tinggal soal waktu untuk pecah.

Masalah tanah menyangkut masalah struktural. Makin banyak petani guram, makin banyak rakyat yang tak bertanah dan berumah. Dalam masalah tanah, kekuasaan negara dan kekuasaan kapital bersekutu mengalahkan rakyat.

Sebaliknya ketika kekuasaan negara bertarung dengan kekuasaan kapital yang kalah adalah negara. Kekuasaan negara loyo, takluk, bahkan tanpa malu. Contohnya rumah gedek milik rakyat di Puncak digusur, tetapi vila di Puncak sekalipun sama-sama menyalahi peruntukan tanah dan ruang hingga sekarang dibiarkan berdiri gagah dan angkuh. Kekuasaan kapital tidak takut dengan semua peringatan dan ancaman pemerintah. Mereka menantang kekuasaan negara, tetapi negara tunduk dan takluk.

Lebih celaka lagi bahkan sesama kekuasaan negara bertarung dan saling menunjukkan kekuasaan sektoral masing-masing. Misalnya konflik kepentingan pertambangan dan kehutanan yang menyebabkan kepentingan ekonomi negara dikorbankan.

Masalah tanah adalah juga cermin buruknya sistem administrasi negara dan bobroknya hukum. Sertifikat tanah ganda dan, sintingnya, semua asli. Bahkan, di pengadilan yang palsu bisa menang perkara sampai di puncak mahkamah hingga berkekuatan hukum tetap. Dan, eksekusi pun dilakukan yang kemudian melahirkan perlawanan keras masyarakat.

Masalah tanah juga memperlihatkan lemahnya keberanian negara menghadapi tekanan bahkan kebrutalan komunal. Tanah-tanah perkebunan negara diduduki dan dijarah secara terbuka dan dibiarkan bahkan direstui. Tanah yang pernah dijual dengan ganti rugi dan proses yang benar pun kembali diduduki sehingga menghancurkan semua tatanan dan kepastian. Investor manakah yang mau datang ke negara tak bertuan seperti itu?

Masalah tanah di negeri ini merupakan masalah multidimensional yang menjadi indikator atas silang selimpatnya masalah yang melilit negeri ini. Yang perlu disadari adalah masalah tanah tertimbun di bawah permukaan, yang sesewaktu bisa meletus dan meledak sebagai kemarahan yang dahsyat. Bisul sosial yang mengerikan itu bisa pecah tanpa kendali.

Editorial Media Indonesia

Membangun Keumatan yang Moderat (versi NU)

Penulis : Said Agil Siradj Ketua PBNU

Apa yang disebut ‘umat Islam’ dewasa ini agaknya menyelipkan pemaknaan yang cenderung beraneka ragam dan kabur. Mengapa demikian? Secara fakta, sekarang ini bermunculan banyak organisasi atau kelompok di kalangan umat Islam yang masing-masing mempunyai ‘ciri khas’ sendiri. Kekhasan ini bukan saja menukik pada aspek yang ‘mendalam’, melainkan mudah dilihat secara tampilan lahiriah. Misalnya, ada kelompok umat Islam yang ke mana-mana memakai pakaian ‘gaya Timur Tengah’, bercelana di atas lutut, memanjangkan jenggot, beserban, juga bercadar. Sebaliknya, ada juga yang tampil ‘biasa-biasa’ saja, seperti pada umumnya. Ada apa di balik itu semua? Barangkali, tampilan lahiriah tersebut berkait dengan ‘ideologi’ yang dipegangi masing-masing kelompok umat Islam. Tentunya ini logis. Bagaimana bisa, orang misalnya berpakaian jubah dan berjenggot, tanpa ada ‘doktrin’ atau pemahaman keagamaan tertentu. Pemahaman ini bisa berasal dari pergumulan pribadi dalam memahami semesta ajaran Islam maupun dari pemahaman ‘top down’ secara jemaah. Begitu pun sebaliknya, mereka yang cenderung ‘liberal’ tentunya juga bersumber dari pemahaman keislaman. Ada ‘subjektivitas’ yang mengendap dalam pemahaman tersebut. Mungkin benar, ada adagium yang menyatakan bahwa setiap pemahaman pastilah subjektif karena tidak akan lepas dari ‘sudut bidik’ individu masing-masing. Secara kategoris, pemahaman umat Islam dapat dibagi dalam wujud puritan, fundamentalis, dan liberal-sekuler. Pengklasifikasian ini bukanlah semata-mata bermaksud sebagai bentuk pengotak-ngotakan terhadap umat Islam. Hal ini hanya untuk memudahkan kita dalam memahami perilaku keagamaan yang tampak beragam. Di samping itu, kita memaklumi bahwa dalam setiap pemahaman keagamaan selalu melahirkan bermacam pendirian atau pemikiran yang sering kali bertolak belakang atau malahan menimbulkan ketegangan. Ini fakta sejarah. Dalam kajian sosial, kemudian menelurkan apa yang disebut dengan ‘sekte’. Dalam Islam pun, kenyataan sektarian tersebut tak bisa kita tolak mentah-mentah karena memang faktawi. Dapat dikatakan bahwa kenyataan ini sudah menjadi ‘sunnatullah’. Justru di balik keanekaragaman pemahaman keislaman ini, hikmah bagi muslim menjadi pemacu untuk lebih mendalami pemahamannya sehingga mencapai pemaknaan yang ideal. Artinya, keserbanekaan pemahaman ini memerlukan kesadaran dan jiwa besar untuk ‘meluaskan’ cakrawala pemahaman keislaman, bukannya malah menimbulkan konflik yang tak berkesudahan. Bagi kita, apa pun konflik dalam pemahaman keislaman tidak akan terjadi semata karena perbedaan paham, tetapi ada ‘faktor-faktor lain’ yang membuat situasi tidak kondusif. Contohnya, konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Irak belakangan ini. Banyak tengara menyatakan bahwa konflik tersebut bukan disebabkan runcingnya beda paham antara Sunni dan Syiah, melainkan karena ‘intervensi politik’ pihak luar yang menghendakinya. Pendeknya, selalu terpendam ‘kepentingan’ di luar agama yang menimbulkan malapetaka, tetapi politicking yang menjadi sumbu penyala api konflik. Teladan pemikiran masa lalu Kalau merunut sejarah, umat Islam pernah melahirkan bayak ilmuwan dan pemikir yang berkaliber internasional. Pemikiran-pemikiran mereka tersebar dalam karya-karya besarnya dan sangat populer. Ibnu Rusyd, al-Ghazali, al-Syafi’i, al-Khawarizmi, al-Kindi, Jabir bin Hayyan, al-Biruni, dan masih banyak lagi yang menekuni keilmuan dan menyebarkan pemahaman keislaman yang kosmopolit. Betapa pun, di antara mereka terjadi perbedaan pemikiran, tetapi tetap dalam koridor saling menghormati. Perbedaan tajam antara Ibnu Rusyd dan al-Ghazali misalnya mengenai filsafat yang kemudian melahirkan karya Tahafut al-Falasifah dan Tahafut al-Tahafut menunjukkan bahwa perbedaan dikelola sedemikian elok melalui karya ilmiah, bukan konflik kekanak-kanakan yang justru mudaratnya lebih besar. Persitegangan intelektual memang selalu akan terjadi. Para ilmuwan dan pemikir muslim sedari lama menunjukkan hal itu. Keniscayaan adanya persitegangan itu merupakan hal yang sangat wajar karena justru di situlah letak dinamika keilmuan yang akan menggeret pada wujudnya yang ideal. Untuk menuju keparipurnaan dalam pemahaman dan pemikiran, dibutuhkan ‘gesekan’ sehingga spirit untuk menjelajah lebih mendalam akan menyala terus. Dulu, seperti paham Mu’tazilah pernah dijadikan sebagai ideologi negara oleh pemimpin dinasti Umayyah, yaitu khalifah al-Muktashim, Watsiq, dan al-Makmun. Bagi penentangnya akan dihadiahi penjara seperti yang menimpa Imam ibnu Hambali. Namun, lambat laun, paham Mu’tazilah menjadi surut dengan sendirinya, karena dipandang tidak lagi layak. Meski kita tahu spirit Mu’tazilah mengilhami pemikiran keislaman dewasa ini, Mu’tazilah secara doktrin dan ideologi sudah tidak hidup lagi. Ini juga membuktikan bila suatu paham dijadikan sebagai ideologi yang dipaksakan-seperti halnya paham Marxisme-, maka yang terjadi justru penolakan rakyat. Pemikiran Mu’tazilah buktinya ‘dikalahkan’ oleh kehadiran pemikiran al-Asyari yang mengedepankan teologi moderat. Dan pemikiran al-Asyari ini yang bisa diterima umat karena lebih populis. Soal paham al-Asyari ini kemudian dikritik karena dianggap membawa umat pada determinisme atau apatisme, tetapi buktinya tetap bayak dipegang oleh umat. Ini juga membuktikan bahwa paham al-Asyari mempunyai manfaat sehingga tetap hidup. Demikianlah, pemikiran bukanlah ‘ideologi’, tetapi sebagai aktualisasi pemahaman terhadap kenyataan dan teks-teks yang menghampar dalam kehidupan. Pemikiran akan terus hidup dan mekar, apalagi di tengah iklim demokrasi dan globalisasi seperti yang kita rasakan sekarang ini. Demikian halnya, sosok al-Ghazali yang dikritik sekaligus juga dipuja. Bagi penentangnya, al-Ghazali dipandang sebagai sumber pemikiran yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Ini seperti dituduhkan oleh seorang intelektual dari Mesir, Fuad al-Ehwani. Kalangan Islam liberal pun memahami seperti itu dan kemudian menjadikan sosok Ibnu Rusyd sebagai pemikir rasionalis yang layak dihidupkan semangat pemikirannya. Akan tetapi, pemikiran al-Ghazali nyatanya masih terus berkibar dan dijadikan rujukan serta karya-karyanya dipelajari di seantero dunia. Mungkin, beginilah nasib sebuah pemikiran, kalau tidak dipuja pasti akan dihujat. Di sisi lain, ini menunjukkan pula bahwa sosok semisal al-Ghazali ternyata masih berguna dalam menapaki kehidupan modern. Artinya pula, pemikiran al-Ghazali masih kontekstual karena sikap moderasinya. Hal ini, juga karena peranan dan dedikasinya dalam memikirkan umat. Ketulusannya membuat seolah menyinari kegelapan yang setiap kali muncul. NU juga misalnya yang lebih mengedepankan sikap moderasinya terus hidup dan mengembangkan sayap dedikasinya bagi bangsa. Sedari awal, NU sudah menolak upaya umat Islam untuk menegakkan ‘negara Islam’. NU kemudian menetapkan bahwa Indonesia bukanlah ‘negara Islam’ (darul Islam) dan bukan pula ‘negara perang’ (darul harb), melainkan sebagai ‘negeri kedamaian’ (darusalam). Ini suatu terobosan pemikiran kala itu, di saat umat Islam berada dalam polarisasi yang tajam, konflik ideologi dan situasi yang tidak kondusif. Dengan begitu, NU tampil memerankan dirinya sebagai ‘penengah’ umat Islam dengan tawaran pemikiran yang moderat dan kosmopolit. Pemikiran yang moderat akan selalu dibutuhkan. Sedangkan pemikiran yang ekstrem akan mudah ditinggalkan. Dunia saat ini mengalami lonjakan yang luar biasa dengan kehadiran modernisasi dan globalisasi. Dua wujud ini merupakan fakta yang tak bisa ditolak. Kita perlu menerimanya walaupun dengan sikap yang kritis. Kemajuan bangsa perlu diupayakan sedemikian rupa dan ini memerlukan pemikiran serta sikap yang luwes yang turut mendukung kemajuan demi kesejahteraan umat. Islam senantiasa mengajarkan untuk bersikap seimbang. Alquran menegaskan: ”Dan demikian itulah, Kami jadikan kalian sebagai umat yang berada di tengah-tengah (ummatan wasathan).” Konsep ‘ummatan wasathan’ ini sungguh bijaksana, sebab hidup selalu majemuk. Tidak akan ada kemampuan untuk memanunggalkan hidup dalam satu rupa. Dengan kemajemukan ini, maka diperlukan sikap yang arif melalui sikap moderat. Radikalisasi pemikiran akan berarti melawan kemajemukan serta menghindar dari kenyataan. Dan ini tentu justru akan melahirkan mudarat yang lebih banyak daripada manfaat. Karena itu, sikap ummatan wasathan seperti diwejangkan Alquran tentunya merupakan sikap terbaik yang perlu dipegang erat-erat oleh setiap muslim.

Undangan Simposium Nasional DEPDIKNAS

Jakarta, 28 April 2007

Kepada Yth

Rektor/Dekan/Direktur/Pimpinan

Perguruan Tinggi/Lembaga/Pemerhati Pendidikan/Sejawat Lainnya

MOHON UNDANGAN INI JUGA DISAMPAIKAN PADA PIMPINAN ATAU SEJAWAT YANG LAIN

Memberitahukan dengan hormat bahwa DEPDIKNAS akan menyelenggarakan Simposium Nasional tentang Hasil-Hasil Penelitian/Pemikiran-Inovatif Pendidikan di Jakarta, Tanggal 25-26 Juli 2007. Simposium akan dibuka Mendiknas dan para Dirjen/Sesjen/Irjen diundang sebagai keynote speakers.

Saya disarankan mengundang Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam Simposium Nasional tsb. Syukur kalau Bapak/Ibu dapat mengirimkan makalah. Karena jumlah peserta DIBATASI, maka Panitia memberikan kesempatan kepada pendaftar tercepat. Penjelasan lebih rinci dan formulir pendaftaran dapat di down-load di website Panitia http://simpen-2007.jardiknas.org. Mohon email ini dianggap sebagai undangan, namun kalau sekiranya diperlukan undangan tertulis, akan kami usahakan.

Terima kasih atas kerjasamanya.

Wassalam

Prof. Soekartawi/Depdiknas/Panitia

Nasihat Kepemimpinan Mbah Maridjan

LEMAHNYA kepemimpinan formal kini memang tengah menjadi diskusi panjang di tengah masyarakat. Salah satu hal yang sering mengemuka dalam diskusi itu adalah keteladanan para pemimpin yang kurang berada di depan dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa.

Mungkin karena alasan itulah Rapat Konsultasi Nasional Partai Golkar II di Yogyakarta mengundang Mas Penewu Suraksohargo, yang lebih populer dipanggil Mbah Maridjan. Abdi dalem Keraton Yogyakarta yang diberi tugas khusus sebagai juru kunci Gunung Merapi itu diberi tempat amat terhormat. Ia duduk satu baris dengan para pembesar Golkar seperti Ketua Umum Jusuf Kalla, Ketua Dewan Penasihat Surya Paloh, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Sekjen Soemarsono.

Tidak hanya diundang, yang menarik, sang juru kunci Merapi itu diminta menutup perhelatan politik Partai Golkar, Minggu (15/4). Lebih istimewa lagi, pria berusia 80 tahun yang menjadi bintang iklan sebuah produk itu memberi ‘kuliah umum’ tentang kepemimpinan (leadership) di depan para kader Golkar.

Yang luar biasa, Maridjan yang berbicara dalam bahasa Jawa itu diterjemahkan oleh Sultan Hamengku Buwono X. Jika saja Sultan secara kaku mempertahankan ego seorang raja, pastilah ia tak sudi menjadi penerjemah seorang juru kunci. Tapi, inilah kearifan Sultan menyikapi keadaan zaman yang telah berubah.

Dalam ‘kuliah umum’ itu, Maridjan memberi ‘nasihat’ agar para pemimpin menjaga amanah dan memerhatikan rakyat. Ia pun memberi contoh konkret bagaimana menjadi pemimpin yang memerhatikan rakyat, yakni dengan memberikan semua honornya sebagai bintang iklan untuk kepentingan masyarakat. “Itulah sebuah bentuk tanggung jawab seorang pemimpin,” kata si Mbah yang disambut gemuruh hadirin.

Maridjan seorang autodidak yang selalu berbahasa Jawa dalam setiap berbincangan. Namanya populer setelah ia mbalelo terhadap perintah Sultan untuk menjauh dari Merapi ketika aktivitas gunung itu mengeluarkan lava pijar dan awan panas, tanda gunung hendak meletus, tahun lalu. Ia bersikukuh tetap tinggal di sekitar Merapi dengan beberapa ‘pengikutnya’. Tetapi, pilihan itu diambil justru karena ia merasa tengah menjaga amanah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, ayah Sri Sultan X. Yakni menjaga Merapi, apa pun yang terjadi.

Sikapnya yang teguh itulah dinilai sebagai seorang pemimpin yang pemberani. Pemimpin yang memberi keteladanan meskipun nyawanya terancam. Simbol pemberani itulah yang mendorong sebuah perusahaan menjadikannya bintang iklan.

Di depan para kader Golkar, Maridjan tidak bicara tinggi-tinggi tentang teori kepemimpinan. Ia bicara bersahaja bagaimana menjadi pemimpin yang amanah dengan contoh konkret, yakni tetap bersama rakyat baik keadaan susah maupun senang.

Maridjan juga memberi tahu bahwa seorang pemimpin harus membuang jauh kepentingan pribadi, misalnya dengan menumpuk materi. Memberikan seluruh honornya sebagai bintang iklan kepada masyarakat sekitar Merapi, adalah contoh yang paling konkret.

Apa artinya kehadiran tokoh seperti Mbah Mardijan di tengah perhelatan politik Partai Golkar? Artinya, bahwa kepemimpinan itu dari zaman ke zaman, dari pemahaman tradisional maupun modern, intinya cuma satu. Bahwa seorang pemimpin harus selalu menomorsatukan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri sendiri.

Editorial Media Indonesia 16 April 2007

Anggota PMB kolot

anggota_pmb_lama.jpg

Mungkin ada yang tahu siapa mereka ini ?